Nyepi di Dencarik Berbeda
23 Maret 2023 06:08:46 WITA
Suasana pawai ogoh-ogoh di Desa Dencarik yang baru dilaksanakan setelah 3 tahun vakum karena pandemi Covid19. Salah satu peserta dari Banjar Baingin, tampak gadis cantik Desa Dencarik membawa papan nama dengan latar belakang iring-iringan ogoh-ogohnya.
Dencarik. Perayaan Nyepi di Desa Dencarik kembali semarak setelah 3 tahun dibatasi oleh pandemi Covid 19.
Rangkaian Nyepi sedikit berbeda dengan desa-desa lainnya. Tergabung dalam Tri Desa, yaitu Dencarik, Banjar dan Banjar Tegeha, rangkaian perayaan tahun baru caka tidak diawali dengan upacara Melasti atau Mekiis yang lumrah terjadi pada desa-desa di Bali.
Bagi desa yang tergabung di Tri Desa, upacara Melasti akan dilaksanakan nanti di purnama kalima atau tahun ini jatuh pada tanggal 5 April.
Perbedaan perayaan ini merupakan warisan budaya yang ada sejak dahulu kala dari Dencarik, Banjar dan Banjar Tegeha tergabung menjadi satu desa utama di bawah naungan kerajaan Banjar.
Dencarik mengawali perayaan Nyepi dengan upacara pecaruan yang digelar di Bencingah Desa Adat Dencarik. Upacara ini dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 12.00 yang bertujuan membersihkan aspek buana agung atau alam semesta khususnya wilayah Desa Adat Dencarik. Upacara ini dipuput oleh Ratu Peranda Istri Gerya Megati serta dihadiri oleh prajuru Desa Adat, perangkat Desa Dencarik dan masyarakat.
Sore harinya, yang dinanti-nantikan oleh seluruh masyarakat Dencarik bahkan hampir sebagian besar masyarakat Bali, yaitu pawai ogoh-ogoh. Pawai ogoh-ogoh sangat ditunggu oleh seluruh lapisan masyarakat setelah ditiadakan karena hantaman badai Covid 19 melanda Bali.
Pawai ogoh-ogoh di wilayah Desa Dencarik, tidak hanya menjadi tontonan masyarakat Dencarik tetapi juga menyedot penonton dari beberapa desa tetangga. Sekitar pukul lima sore, pawai dibuka langsung oleh Bandesa Adat Dencarik, I Putu Riasa didampingi Perbekel Dencarik, Ni Luh Kertawati. Tetapi lokasi start pawai telah dipadati penonton sejak pukul empat sore.
Perwakilan Banjar Dinas Lebah melalui penampilan ogoh-ogoh Sang Taru Pule membuka rangkaian pawai dilanjutkan oleh penampilan ogoh-ogoh dari sekeha truna dari banjar Bajangan, Menasa, Baingin dan Corot.
Yang berbeda dengan perayaan tahun-tahun sebelumnya (tepatnya sebelum tahun 2020), jumlah ogoh-ogoh yang berpartisipasi jauh membludak. Seluruh banjar mengirim partisipan ogoh-ogoh mini yang diarak oleh anak-anak. Walaupun diarak oleh anak usia sekolah dasar sampai SMP tetapi tampilan ogoh-ogoh sangat artistik dan diarak lengkap dengan busana penegen, layaknya sekeha truna.
Bagaimana semaraknya pawai ogoh-ogohnya? Yuk,,tonton videonya melalui link berikut https://www.youtube.com/watch?v=BgLbBZ1ssI0&t=20s.
Memasuki tanggal 22 Maret, suasana Bali menjadi sepi. Selama 24 jam, Bali masuk masa keheningan dalam Sipeng sebagai puncak perayaan tahun baru caka 1945 dengan melaksanakan Brata Penyepian. Pembatasan aktivitas sosial kemasyarakatan khususnya bagi umat Hindu yang tertuang dalam ajaran:
- Amati Geni yang artinya tidak menggunakan api atau spesifik tidak mengobarkan emosi atau melaksanakan pengendalian diri
- Amati lelungaan yang artinya tidak melakukan kegiatan jalan-jalan
- Amati lelungaan yang artinya tidak melakukan kegiatan berfoya-foya
- Amati karya yang artinya tidak melakukan aktivitas pekerjaan.
Empat larangan tersebut bertujuan agar krama Bali khususnya umat Hindu bisa memaknai kehidupan supaya bisa menyeimbangkan diri antara tuntutan fisik dan kebutuhan batin guna menciptakan kehidupan yang harmonis jiwa dan raga.
Melalui pelaksanaan Brata Panyepian ini memberikan dampak besar bagi kondisi alam Bali. Selama 24 jam, pulau Bali seakan mati suri dari aktivitas manusia. Hal ini memberikan kesempatan alam Bali "bernapas lega", memberikan kesempatan melepas kepenatan alam Bali dari aktivitas sosial masyarakat Bali. Hanya di Bali, seluruh aktivitas termasuk lalu lintas udara bisa terhenti melalui Brata Panyepian.
Setelah hening dalam Brata Panyepian, masyarakat Bali khususnya Desa Dencarik kembali melanjutkan warisan budaya leluhur yang adi luhung yaitu Nyakan Diwang. Nyakan Diwang dimulai setelah kulkul Desa dipukul sekitar pukul tiga dini hari, sebagai tanda berakhirnya pelaksanaan Brata Panyepian. Warisan budaya Nyakan Diwang merupakan aktivitas budaya yang terawarisi di sebagaian desa di wilayah Kecamatan Banjar.
Nyakan Diwang yang secara harfiah berarti memasak di luar atau di pinggir jalan menjadikan atraksi budaya yang unik. Belum diketahui sejak kapan tradisi Nyakan Diwang ini dimulai. Walaupun demikian, masyarakat Dencarik berusaha melestarikan budaya ini secara turun temurun terbukti dari antusiasnya masyarakat Dencarik menunggu momen ini. Nyakan Diwang menjadi sarana masyarakat untuk bersimakrama atau bersosialisasi dengan sahabat kecil yang telah lama tidak berjumpa karena merantau di wilayah Bali Selatan atau luar Bali. Sebagai sarana mempererat persaudaraan antar masyarakat Dencarik.
Paruman agung menjadi sesi selanjutnya dalam rangkian Nyepi di wilayah Dencarik. Paruman agung sendiri bukanlah bagian upacara Nyepi, tetapi hadirnya hari raya Nyepi menjadikan kesempatan seluruh masyarakat Desa Adat Dencarik bisa berkumpul kembali di rumah. Hal ini adalah momen yang baik untuk berkumpul berbagi informasi secara langsung, secara dua arah antara masyarakat dengan prajuru Desa Adat Dencarik.
Paruman agung atau musyawarah besar dilaksanakan pada Ngembak Api pertama atau satu hari setelah Sipeng. Kesempatan ini digunakan untuk penyampaian laporan pertanggungjawaban prajuru Adat Dencarik. Selain itu, momen ini digunakan untuk menyampaikan program kerja selanjutnya serta menyerap aspirasi krama Desa Adat Dencarik. (ngr/adm)
Komentar atas Nyepi di Dencarik Berbeda
Formulir Penulisan Komentar
Layanan Mandiri
Silakan datang / hubungi perangkat Desa untuk mendapatkan kode PIN Anda.
Masukkan NIK dan PIN!
Statistik Kunjungan
Hari ini | |
Kemarin | |
Jumlah Pengunjung |